PERBEDAAN SISTEM SEWA TANAH (Tanah Partikulir) dan SISTEM TANAM PAKSA
Apa Sih Perbedaan dari sistem sewa tanah dan sistem tanam paksa pada zaman kolonial???
A. SISTEM SEWA TANAH
Dalam sistem pemerintahan tradisional (adat) di Indonesia, rakyat
mempunyai kebebasan penuh untuk menentukan jenis komoditi yang
ditanam. Meskipun demikian rakyat membayar (menyetorkan) sebagian hasil
usahataninya kepada penguasa. Hal ini ditafsirkan oleh pemerintah kolonial
Belanda bahwa pemilik tanah yang sebenarnya adalah pemerintah. Pemikiran
yang menganggap pemerintah sebagai pemilik tanah dan petani sebagai
penyewa tanah milik, menyebabkan petani diwajibkan membayar pajak bumi
sebesar duaperlima dari hasil tanah garapannya. Sistem sewa tanah yang
diberikan kepada partikelir (swasta) itu telah melepaskan rakyat dari ikatan –
ikatan adatnya dan terhapusnya kewajiban rakyat untuk menyerahkan hasil
bumi kepada Bupati.
Sejak masa sewa tanah diberlakukan, peredaran uang telah menyebabkan
semakin ditingkatkannya produksi hasil dengan cara memperluas areal
tanam. Sistem pertanian kontrak ternyata telah berkembang masa ini. Hasilhasil pertanian, khususnya beras telah memasuki lalu lintas perekonomian
dalam sistem kontrak. Pada saat Du Buis berkuasa (1826 – 1830) kebijaksanaan sebelumnya yang cenderung mengeksploitasi sumberdaya
manusia tanpa dukungan modal diubah dengan kebijaksanaan yang
cenderung menyertakan modal dan ekstensifikasi. Ia memberikan
kesempatan yang lebih banyak kepada pengusaha Eropa untuk menanamkan
modalnya guna meningkatkan produksi ekspor. Kebijaksanaan ini didasari
oleh kenyataan kondisi masyarakat Jawa saat itu yang terlalu miskin untuk
menghasilkan tanaman ekspor.
Dari hasil pengamatannya, Du Buis melihat susunan masyarakat Jawa
menunjukkan kehidupan kolektif yang sukar berubah sehingga kemiskinan
tampak merata. Ia berkesimpulan bahwa tanah-tanah komunal merupakan
sumber penyebab kemiskinan di Jawa. Selain itu, ketidakmampuan membuka
tanah-tanah baru akibat lemahnya penguasaan sumberdaya manusia, ternyata
telah menyebabkan ketidakseimbangan jumlah penduduk dan luas tanah.
Akibatnya, penduduk semakin miskin. Ketidak mampuan secara ekonomi
terlihat dari keadaan stagnasi ekonomi subsisten, kemiskinan dan
homogenitas masyarakat di pedesaan Jawa. Atas dasar itu, ia berupaya
menaikkan ekspor, menerapkan kebijakan menghilangkan tanah-tanah
komunal menjadi tanah milik perseorangan, dan membuka peluang
penanaman modal secara besar-besaran melalui perluasan tanah yang belum
dibuka oleh penguasa Eropa menjadi pertanian besar. Dampaknya,
eksploitasi tenaga kerja secara besar-besaran menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari penerapan kebijkan kolonisasi Du Buis. Petani-petani tuna
wisma di desa-desa yang padat penduduk dengan mudah direkrut menjadi
buruh di pertanian (perkebunan) besar. Implikasi dari struktur hubungan kerja
ini adalah munculnya stratifikasi sosial buruh – majikan yang amat tajam
pada masa itu.
B. SISTEM TANAM PAKSA
Sistem sewa tanah (tanah partikulir) yang berlangsung hampir dua puluh
tahun (1810 – 1830) dengan segala pembaharuannya ternyata tidak
menghasilkan kemakmuran sedikitpun di Jawa, walaupun sebelumnya
Raffles pernah berpendapat bahwa Jawa adalah gudang beras. Sementara itu,
sejak kekuasaan kolonial kembali ke tangan Belanda, anggaran pemerintah
Belanda semakin memburuk. Sebagai solusinya, sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, untuk menolong keuangan pemerintah kolonial Belanda tersebut
di bawah pemerintahan Van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa yang
merupakan pemulihan eksploitasi seperti halnya penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dilaksanakan oleh VOC. Teori domein Raffles bahwa
tanah adalah milik raja atau pemerintah diterapkan kembali. Para kepala desa
diharuskan menyewa tanah kepada pemerintah, kemudian mereka
menyewakannya kembali kepada petani. Dengan sistem ini pemilik tanah
tidak lagi membayar pajak bumi (landrente) sebesar dua per lima dari hasil,
tetapi diwajibkan menyediakan seperlima dari luas tanahnya untuk ditanami
tanaman ekspor yang telah ditentukan, seperti kopi, gula, teh, tembakau, dan
nila yang merupakan komoditas yang dari penanaman sampai ke
pengolahannya di pabrik-pabrik sangat berpengaruh bagi kehidupan petani.
Kebijakan tanam paksa mengatur bahwa kegagalan tanaman akan ditanggung
oleh pemerintah selama tidak diakibatkan oleh kelalaian penduduk itu
sendiri.
Ketetapan kebijakan tanam paksa yang mewajibkan seperlima luas tanah
pertanian ditanami komoditas ekspor tersebut, pada kenyataannya banyak
petani yang diwajibkan menanam lebih dari ketentuan yang ada. Mereka juga
diwajibkan melakukan kerja wajib yang pada akhirnya menyebabkan
pekerjaan usahatani subsisten mereka terabaikan. Mengenai pajak tanah yang
seharusnya tidak dikenakan, justru pada periode ini pendapatan pajak
pemerintah meningkat.
Kerja paksa merupakan alternatif yang paling murah untuk mengurangi
biaya produksi pabrik-pabrik gula. Untuk itu rakyat dipaksa dan dikerahkan
secara besar-besaran untuk bekerja dari awal penanaman sampai ke proses
produksi di pabrik-pabrik. Petani yang pada mulanya mempunyai kebebasan
untuk menanam dan bekerja di tanahnya sendiri terpaksa harus bekerja sesuai
dengan aturan kolonial yang terawasi dengan ketat.
0 Response to "PERBEDAAN SISTEM SEWA TANAH (Tanah Partikulir) dan SISTEM TANAM PAKSA"
Post a Comment